Panggilan Kecil yang Tuhan Pelihara


Saat masih kuliah, hati saya tersentuh melihat anak-anak yang tinggal di bawah kolong jembatan. Wajah mereka yang penuh kekurangan, pakaian compang-camping, dan mata yang seolah merindukan kasih sayang membuat saya ingin berbuat sesuatu.

Saya membayangkan bisa membantu mereka, memberi mereka makanan, pakaian, atau setidaknya senyuman yang menghibur. Namun, sebagai mahasiswa, saya tidak memiliki apa-apa—tidak ada uang, tidak ada kemampuan, hanya hati yang tergerak.

Dalam doa-doa malam saya, saya berjanji kepada Tuhan, suatu saat nanti, ketika saya mampu, saya akan berbagi untuk mereka. Janji itu terasa begitu hidup di hati saya saat itu, seperti benih kecil yang ditanam Tuhan di jiwa saya.

Namun, hidup membawa saya ke fase baru. Setelah lulus kuliah, saya pindah ke Jakarta untuk memulai karier sebagai guru. Kota besar ini penuh dengan hiruk-pikuk, tantangan, dan perjuangan. Saya sibuk mengejar karier, mencari tempat tinggal yang layak, dan beradaptasi dengan ritme kehidupan yang serba cepat.

Janji kecil di masa kuliah itu perlahan memudar, tertimbun oleh kesibukan dan kebutuhan sehari-hari. Saya bahkan hampir melupakannya, seolah benih itu tertutup debu waktu.

Ketika saya menikah, tantangan baru muncul. Orang tua saya selalu mengajarkan pentingnya berbagi, terutama kepada adik-adik atau mereka yang membutuhkan. Nilai ini sudah tertanam kuat dalam diri saya sejak kecil. Namun, suami saya memiliki pandangan berbeda.

Bagi dia, kebutuhan keluarga kecil kami adalah prioritas utama, dan berbagi dengan orang lain sering kali dianggapnya sebagai sesuatu yang bisa ditunda. Perbedaan ini kerap memicu konflik.

Saya ingin membantu, tetapi suami saya berpikir lebih praktis. Kami sering berbeda pendapat, dan saya mulai merasa lelah dengan pertengkaran yang seolah tidak menemukan ujung. Saya bertanya kepada Tuhan, mengapa panggilan yang saya rasakan di hati begitu sulit diwujudkan?

Suatu hari, melalui seorang hamba Tuhan, saya diingatkan dengan sebuah pesan sederhana namun mendalam: “Jika kamu ingin mengubah seseorang, ubahlah dirimu sendiri terlebih dahulu.” Pesan ini seperti hembusan angin segar.

Saya menyadari bahwa saya tidak bisa memaksakan kehendak saya kepada suami. Saya mulai berhenti berdebat dan memilih untuk berdoa. Dalam doa-doa saya, saya memohon kepada Tuhan agar Dia yang bekerja, bukan hanya dalam hati saya, tetapi juga dalam hati suami saya.

Saya juga mulai melakukan hal-hal kecil yang sesuai dengan panggilan hati saya, seperti menyisihkan sedikit uang untuk disumbangkan ke panti asuhan tanpa sepengetahuan suami. Langkah kecil ini terasa seperti setetes air di tengah gurun, tetapi saya percaya Tuhan melihatnya.

Kehidupan kami berubah ketika kami pindah ke sebuah daerah di Jakarta yang dekat dengan komunitas pemulung dan pedagang kecil. Di sana, saya melihat pemandangan yang mengingatkan saya pada masa kuliah: anak-anak dengan pakaian sederhana, berlarian tanpa alas kaki, dan wajah-wajah yang mencerminkan kerasnya hidup.

Mereka tidak mendapatkan kasih sayang, pendidikan, atau kebutuhan dasar yang seharusnya dimiliki anak-anak seusia mereka. Realitas kota besar ini begitu nyata dan menyakitkan. Jakarta, dengan segala gemerlapnya, menyimpan cerita pilu di sudut-sudutnya. Hati saya kembali tergerak, tetapi kali ini saya tidak ingin hanya berjanji. Saya ingin bertindak, meski kecil.

Tanpa diduga, sebuah momen tak terlupakan terjadi. Suami saya, yang selama ini kurang peduli dengan hal-hal seperti ini, tiba-tiba berkata, “Nanti saat anak kita ulang tahun, kita siapkan makanan dan undang anak-anak di sekitar sini untuk merayakan bersama.” Saya terkejut sekaligus terharu.

Momen ini terasa seperti jawaban doa yang saya panjatkan selama ini. Saya teringat kembali janji kecil di masa kuliah, benih panggilan yang Tuhan tanam dalam hati saya. Saya tidak perlu kembali ke kota tempat saya pertama kali melihat anak-anak kurang mampu itu; Tuhan membawa panggilan itu tepat di depan mata saya, di lingkungan baru kami.

Hari ulang tahun anak kami menjadi momen yang penuh makna. Kami menyiapkan makanan sederhana, kue, dan minuman untuk dibagikan kepada anak-anak di sekitar rumah. Wajah mereka yang sumringah saat menerima makanan, tawa mereka yang polos, dan ucapan terima kasih yang tulus membuat hati saya penuh.

Saya tersadar bahwa panggilan kecil ini tidak pernah hilang; Tuhan memeliharanya dengan setia. Bahkan, suami saya, yang awalnya berbeda pandangan, kini menjadi bagian dari panggilan ini. Saya bersyukur melihat bagaimana Tuhan bekerja melalui dia, mengubah hatinya dengan cara yang tidak pernah saya bayangkan.

Sejak saat itu, kami mulai sering berbagi. Pada peringatan 17 Agustus, misalnya, suami saya berinisiatif mengadakan lomba kecil untuk anak-anak di lingkungan kami. Dia juga membagikan minuman ringan secara gratis. Melihat anak-anak itu tertawa dan menikmati momen sederhana itu membuat saya semakin yakin bahwa ini adalah waktu Tuhan bagi kami untuk melayani.

Sekecil apa pun yang kami lakukan, saya percaya itu adalah bagian dari rencana Tuhan. Benih panggilan yang ditanam sejak masa kuliah kini mulai berbunga, tidak hanya dalam hidup saya, tetapi juga dalam keluarga kecil kami.

Saya juga mulai mengajarkan anak kami tentang pentingnya berbagi. Setiap kali kami mengadakan kegiatan kecil, seperti membagikan makanan atau mengadakan acara sederhana, anak kami belajar bahwa kasih Tuhan diwujudkan melalui tindakan nyata.

Saya bersyukur karena panggilan ini tidak lagi hanya menjadi beban saya seorang, tetapi menjadi panggilan bersama keluarga. Kami belajar bersama untuk menjadi saluran berkat, meski dalam cara yang sederhana.

Melalui perjalanan ini, saya menyadari bahwa pelayanan tidak harus besar atau megah. Pelayanan bisa dimulai dari hal-hal kecil, seperti senyuman, makanan yang dibagikan, atau waktu yang kita luangkan untuk mendengarkan. Tuhan tidak pernah meminta kita untuk melakukan sesuatu di luar kemampuan kita.

Dia hanya meminta kita untuk setia dengan panggilan yang Dia taruh di hati kita. Saya belajar bahwa pelayanan sejati berasal dari hati yang peka terhadap gerakan Tuhan, bukan dari keinginan atau kemampuan kita sendiri.

Hari ini, saya bersyukur karena Tuhan terus bekerja melalui hidup kami. Meski apa yang kami lakukan mungkin tidak terlihat besar di mata dunia, bagi saya, ini adalah panggilan yang Tuhan percayakan.

Saya berterima kasih atas keluarga kecil saya yang mendukung, atas suami yang kini berjalan bersama dalam panggilan ini, dan atas anak kami yang belajar tentang kasih melalui tindakan nyata. Terima kasih, Tuhan, karena Engkau memelihara benih kecil itu dan membuka jalan bagi kami untuk melayani.

Bagi siapa pun yang membaca ini, mungkin saat ini Tuhan sedang menggerakkan hati Anda untuk melayani, tetapi Anda merasa belum mampu. Mungkin Anda belum punya dana, waktu, atau kemampuan. Percayalah, panggilan itu bukan berasal dari kita, tetapi dari Tuhan. Jika kita berdoa dan merenungkannya, Tuhan akan membukakan jalan.

Pelayanan bukan tentang seberapa besar yang kita lakukan, tetapi seberapa setia kita menjawab panggilan-Nya. Mari kita menjadi anak-anak yang peka, terus belajar, dan berdoa agar Tuhan menjadikan kita saluran berkat-Nya. Terima kasih, Tuhan, atas anugerah ini. Kami bersyukur bisa melayani-Mu.

Sumber: RS


0 Komentar

Type above and press Enter to search.