Musa: Hati yang Tulus, Penolakan, dan Proses Allah

Dalam kisah Alkitab, Musa dikenal sebagai pemimpin besar yang membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir menuju Tanah Perjanjian. Namun, perjalanan Musa menuju panggilan itu tidaklah lurus dan mudah. Ada penolakan, kegagalan, bahkan keterasingan yang harus ia lewati. Justru dari proses itulah, kita dapat belajar bagaimana Allah membentuk seorang pemimpin sejati—bukan sekadar karena kemampuan, tetapi karena hati yang sesuai dengan kehendak-Nya.

Sejak awal, Musa memiliki hati yang rindu menolong bangsanya. Walaupun ia tumbuh besar di istana Mesir sebagai pangeran, ia tidak melupakan identitasnya sebagai orang Ibrani. Suatu hari, ketika ia melihat bangsanya diperlakukan dengan kejam oleh seorang Mesir, Musa tidak tinggal diam. Ia bertindak, bahkan hingga mengorbankan posisinya di istana (Keluaran 2:11–12).

Di balik tindakannya, kita melihat hati yang terbakar oleh kerinduan untuk membebaskan bangsanya dari penindasan. Namun, caranya tidak tepat. Musa mengandalkan kekuatan dan strateginya sendiri, bukan cara Allah.

Yang lebih mengejutkan, niat baik Musa justru ditolak oleh bangsanya sendiri. Ketika ia mencoba mendamaikan dua orang Ibrani yang sedang bertengkar, mereka berkata:

“Siapakah yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim atas kami? Apakah engkau bermaksud membunuh aku seperti orang Mesir itu?” (Keluaran 2:14).

Kata-kata ini melukai Musa. Ia yang bermaksud menolong, justru dianggap ancaman. Dari sinilah Musa melarikan diri ke tanah Midian. Ia yang semula pangeran, harus hidup sebagai gembala—sebuah pekerjaan rendah di mata orang Mesir.

Penolakan itu menjadi titik balik. Musa belajar bahwa hati yang tulus saja tidak cukup. Kadang, orang yang ingin kita tolong tidak mengerti maksud Allah. Bahkan, mereka bisa menolak atau mencurigai kita.

Empat puluh tahun Musa hidup di padang Midian. Dari seorang pangeran yang terbiasa memerintah, ia menjadi gembala yang harus bersabar menghadapi domba-dombanya. Waktu yang panjang ini bukan kebetulan. Allah sedang membentuk Musa—bukan lagi sebagai pemimpin yang mengandalkan kuasa manusia, melainkan gembala yang peka terhadap suara Allah.

Di sini, kita melihat prinsip penting: Tuhan lebih mementingkan hati dan karakter kita daripada sekadar posisi atau gelar.

Ketika Musa akhirnya dipanggil lewat semak yang menyala (Keluaran 3), ia tidak lagi sombong atau percaya diri berlebihan. Sebaliknya, ia merasa tidak mampu. Justru dalam kelemahan itulah, Allah menunjukkan kuasa-Nya.

Kisah Musa menjadi relevan dengan kehidupan kita hari ini. Ada beberapa pelajaran yang bisa kita renungkan:

1. Hati yang tulus kadang ditolak.

Niat baik belum tentu langsung diterima. Bahkan, bisa jadi kita dicurigai atau ditolak oleh orang yang kita ingin tolong. Tetapi itu bukan berarti hati kita salah.

2. Proses Allah seringkali menyakitkan.

Musa harus kehilangan kenyamanan istana dan hidup di padang gurun. Penolakan, keterasingan, dan waktu yang panjang adalah bagian dari pembentukan Allah.

3. Pemimpin sejati lahir dari hati yang digembalakan Allah.

Bukan dari kepandaian, jabatan, atau pengalaman semata. Tetapi dari kesetiaan menjalani proses yang Tuhan izinkan.

4. Cara Tuhan berbeda dengan cara manusia.

Musa ingin menolong bangsanya dengan kekuatan sendiri. Allah menolong dengan tangan yang berkuasa, tanda-tanda ajaib, dan mujizat besar.

Banyak orang memiliki kerinduan tulus untuk melayani, mengajar, atau menolong sesama. Namun, seringkali niat baik itu ditolak atau disalahpahami. Kita bisa merasa kecewa, putus asa, bahkan menyerah. Tetapi ingatlah: Musa pun mengalami hal yang sama.

Ketika kita ditolak, bukan berarti Allah tidak berkenan. Bisa jadi, Allah sedang mengarahkan kita untuk berhenti mengandalkan cara kita, dan mulai menantikan cara-Nya. Penolakan bisa menjadi pintu menuju pembentukan yang lebih dalam.

Seperti Musa, mungkin kita harus melewati “padang gurun” kehidupan—masa sepi, masa kehilangan, masa tidak dianggap. Namun, justru di situlah kita dilatih untuk peka pada suara Allah.

Musa dipanggil Tuhan bukan hanya karena ia punya hati untuk bangsanya, tetapi karena Allah sendiri yang memilih, memproses, dan mengutus dia. Hati yang rindu menolong adalah awal yang baik. Tetapi itu harus diproses dalam didikan Allah agar benar-benar menjadi saluran berkat.

Jangan heran jika niat baikmu ditolak. Jangan putus asa bila orang tidak mengerti maksudmu. Tetaplah setia. Sebab pada waktunya, Tuhan bisa memanggilmu seperti Ia memanggil Musa:

“Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau…” (Keluaran 3:10).

Biarlah kita belajar dari Musa: memiliki hati yang tulus, bersedia diproses, dan siap dipakai Allah untuk rencana-Nya yang besar.

0 Komentar

Type above and press Enter to search.